Selamat Datang di Blog Tabloid Komunitas "Padma News", perumahan Graha Padma - Semarang

Blog ini merupakan versi online dari tabloid "Padma News". Semua artikel, gambar dan foto diambil dari versi cetak. Harapan kami, setelah membaca blog ini semoga dapat menginspirasi anda untuk datang berkunjung ke lokasi perumahan kami, "Graha Padma". Sebuah mutiara di Semarang Barat, Jawa Tengah.
Hanya 5 menit dari Bandara Ahmad Yani, 20 menit ke pusat kota, 15 menit ke pintu tol Jerakah.

Konon, tinggal di Semarang bawah selalu diberi stigma 'daerah banjir' dan gersang. Mari datang dan buktikan dengan apa yang telah kami lakukan untuk mengantisipasinya :))

Kawasan permukiman ini dirancang secara profesional dengan menjaga keselarasan rumah tinggal, ruang publik (jalan, taman dll) dan lingkungan alam sekitar.

Sugeng Rawuh di Semarang, jantung Jawa Tengah.

Jumat, 29 Maret 2013



SELAMAT HUT RI KE-67  

17 AGUSTUS 1945 – 17 AGUSTUS 2012



INDONESIA: SEBUAH TANDA YANG RETAK?



 Courtesy of www.corat-coretmakna.blogspot.com

Selamat Hari Ulang Tahun ke-67, Indonesiaku. Sebagai hadiah ulang tahunmu, aku mau bertanya sesuatu: Apakah kamu sebuah tanda yang retak? Maaf, aku  bertanya, dengan TANDA TANYA (?) karena tidak tahu. Bukan TANDA TITIK (.) karena itu berarti faktamu. Bukan TANDA SERU (!) karena nanti aku menuduhmu. Bukan, aku memang bertanya kepadamu.

Epilog di atas tidak hanya bersifat kritis teoretis, tetapi juga logis empiris. Dari disiplin semiotik pragmatis (Peirce, 1916), Indonesia adalah sebuah tanda besar, yang bisa menjadi ikon, indeks, maupun simbol. Namun, sudah banggakah kita dengan identitas (ikon) Indonesia? Sudah bisakah Indonesia menjadi referensi (indeks) kemajuan dunia di Asia? Sudah bisakah Indonesia menjadi simbol kuat berbangsa? Dari disiplin semiotik struktural (de Saussure, 1920), sudahkah bentuk Indonesia memiliki makna ideologi yang kuat, tak tergoyahkan? Ataukah ideologi lain sudah mengendap-endap mau masuk dan merobek-robek ideologi kebangsaan yang selama ini mati-matian kita pertahankan? 
Indonesia adalah sebuah tanda yang besar. Namun, kebesaran tanda yang sudah berusia 67 tahun tersebut mungkin terusik, bahkan terancam retak. Ancaman keretakan ada di mana-mana, dari berbagai tanda kecil yang mendukungnya. Mari kita cermati tanda besar itu bersama-sama dengan kacamata jargon ipoleksosbudhankam (jargon yang saya hapal sejak SD, entah mengapa masih gampang saya ucapkan).
Dari aspek ideologi, ideoteks yang ada dapat kita sikapi di mana-mana. Ideologi nasionalisme kita koyak, sehingga tanda NKRI retak. Masihkah kita bangga dengan nasionalisme kita? Sementara anak-anak bangsa sudah mulai menyukai materialisme, liberalisme, dan hedonisme? Premanisme juga terjadi di mana-mana, bahkan di sekolah tempat ilmu ditimba. Bayangkan, tahun 2011 saja terjadi kekerasan di antara siswa sebanyak 136 kasus. Hingga tulisan ini, sudah ada 56 kasus kekerasan siswa nasional, sampai-sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh turun tangan (SM, 11 Agustus 2012). Itu baru kasus besar nasional. Lalu, berapa banyak kasus kecil di tingkat lokal?
Aspek politik dan hukum, juga mungkin retak. Politisi yang seharusnya mengelola Indonesia dengan baik untuk kemakmuran masyarakat dan bangsa, malahan menggerogoti roti negara yang seharusnya untuk kesejahteraan bangsa. Praktik korupsi merambah di segala bidang, dari tataran lokal hingga nasional. Politik menjadi alat mencari uang saku politisi sendiri. Politisi yang seharusnya menjadi panutan, berubah menuai cemoohan. Harga diri politisi yang demikian sudah menjadi murah karena rakyat sudah jengah. Berbagai tanda yang diusung partai tidak lagi berkilau, tetapi mulai kusam, karatan, dan gampang dibuang. Dalam bidang hukum, juga terjadi disharmoni antara dua tanda ‘cicak’ dan ‘buaya’, KPK lawan POLRI (SM, 15 Agustus 2012). Terjadi distorsi dan rebutan justifikasi. Biasanya, buaya pasti menang melawan cicak. Namun, apa yang terjadi, jika sang cicak sudah lebih sakti?
Dari aspek ekonomi, Indonesia sebenarnya adalah sebuah tanda besar yang mandiri. Pernah menjadi zamrud khatulistiwa karena hijau subur dan kaya raya sehingga banyak diperebutkan oleh penjajah dunia. Namun, setelah merdeka, mengapa rakyat masih merasa terjajah? Berbagai kebutuhan hajat hidup mereka (termasuk kedele) hilang  di pasaran, kekayaan (termasuk tambang emas) pindah tangan, dan bahkan kita tidak malu-malu lagi mendatangkan sandang dan pangan! Pelaku impor kok dianggap pahlawan.
Dari aspek sosbud, sosial budaya, tanda-tanda kecil kita bahkan banyak diaku milik orang! Apakah tanda besar Indonesia tidak rapat terkunci sehingga si pencuri semakin berani? Anak-anak bangsa mungkin lupa menjaga pundi, karena mereka sedang terpesona tanda-tanda asing yang bisa membuat mereka menjadi selebriti! Topeng-topeng jalanan menari-nari, mencari sesuap nasi, karena mereka tidak lagi dihidupi. Pewayangan yang seharusnya menjadi arena belajar, tertinggal di sudut, terbiar dan terlantar.
Aspek hankam paling berat terancam. Indonesia yang dulu terdiri dari 13,677 pulau, satu demi satu angka tersebut berkurang. Kita mungkin kurang  mampu menjaganya. Saya tidak tahu jumlah pulau di Nusantara saat ini. Yang saya merasa iba, harta kekayaan di pulau-pulau itu, termasuk rimba, sudah pindah ke negara tetangga. Bagaimana kita mau menjaga Indonesia, jika burung-burung dirgantara kita banyak yang luka?  
Indonesia adalah sebuah sistem tanda yang dibangun oleh  berbagai aspek tanda. Jika satu aspek saja retak, tanda besar juga akan retak. Apakah akan kita biarkan Indonesia seperti ini? Akan kita biarkan keretakan itu terus terjadi? Jika ya, ini yang akan kita alami: berbagai ideologi asing akan datang membanjiri, dan Indonesia tenggelam di laut sendiri.
Semoga itu hanya mimpi meski tidak ada satu bangsa pun yang luput dari entropi. Semoga Presiden, para menteri, dan para politisi membaca ini.
Selamat Ulang Tahun Ke-67, Ibu Pertiwi.
Semoga Engkau Tetap Milik Kami.

Doktor Jumanto 
PhD in Linguistics (Pragmatics), Universitas Indonesia
Warga Perum Graha Padma Internusa, Jl. Tmn. Anyelir L-9 No. 1 Semarang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar