SELAMAT HUT RI KE-67
17 AGUSTUS 1945 – 17 AGUSTUS
2012
INDONESIA: SEBUAH TANDA YANG RETAK?
Courtesy of www.corat-coretmakna.blogspot.com
Selamat Hari
Ulang Tahun ke-67, Indonesiaku. Sebagai hadiah ulang tahunmu, aku mau bertanya
sesuatu: Apakah kamu sebuah tanda yang retak? Maaf, aku bertanya, dengan TANDA TANYA (?) karena tidak
tahu. Bukan TANDA TITIK (.) karena itu berarti faktamu. Bukan TANDA SERU (!)
karena nanti aku menuduhmu. Bukan, aku memang bertanya kepadamu.
Epilog di
atas tidak hanya bersifat kritis teoretis, tetapi juga logis empiris. Dari
disiplin semiotik pragmatis (Peirce, 1916), Indonesia adalah sebuah tanda besar,
yang bisa menjadi ikon, indeks, maupun simbol. Namun, sudah banggakah kita
dengan identitas (ikon) Indonesia?
Sudah bisakah Indonesia
menjadi referensi (indeks) kemajuan dunia di Asia?
Sudah bisakah Indonesia
menjadi simbol kuat berbangsa? Dari disiplin semiotik struktural (de Saussure,
1920), sudahkah bentuk Indonesia memiliki makna ideologi yang kuat, tak
tergoyahkan? Ataukah ideologi lain sudah mengendap-endap mau masuk dan
merobek-robek ideologi kebangsaan yang selama ini mati-matian kita
pertahankan?
Indonesia adalah
sebuah tanda yang besar. Namun, kebesaran tanda yang sudah berusia 67 tahun
tersebut mungkin terusik, bahkan terancam retak. Ancaman keretakan ada di
mana-mana, dari berbagai tanda kecil yang mendukungnya. Mari kita cermati tanda
besar itu bersama-sama dengan kacamata jargon ipoleksosbudhankam (jargon yang
saya hapal sejak SD, entah mengapa masih gampang saya ucapkan).
Dari aspek
ideologi, ideoteks yang ada dapat kita sikapi di mana-mana. Ideologi
nasionalisme kita koyak, sehingga tanda NKRI retak. Masihkah kita bangga dengan
nasionalisme kita? Sementara anak-anak bangsa sudah mulai menyukai
materialisme, liberalisme, dan hedonisme? Premanisme juga terjadi di mana-mana,
bahkan di sekolah tempat ilmu ditimba. Bayangkan, tahun 2011 saja terjadi
kekerasan di antara siswa sebanyak 136 kasus. Hingga tulisan ini, sudah ada 56
kasus kekerasan siswa nasional, sampai-sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
M. Nuh turun tangan (SM, 11 Agustus 2012). Itu baru kasus besar nasional. Lalu,
berapa banyak kasus kecil di tingkat lokal?
Aspek
politik dan hukum, juga mungkin retak. Politisi yang seharusnya mengelola Indonesia
dengan baik untuk kemakmuran masyarakat dan bangsa, malahan menggerogoti roti
negara yang seharusnya untuk kesejahteraan bangsa. Praktik korupsi merambah di
segala bidang, dari tataran lokal hingga nasional. Politik menjadi alat mencari
uang saku politisi sendiri. Politisi yang seharusnya menjadi panutan, berubah
menuai cemoohan. Harga diri politisi yang demikian sudah menjadi murah karena
rakyat sudah jengah. Berbagai tanda yang diusung partai tidak lagi berkilau,
tetapi mulai kusam, karatan, dan gampang dibuang. Dalam bidang hukum, juga
terjadi disharmoni antara dua tanda ‘cicak’ dan ‘buaya’, KPK lawan POLRI (SM,
15 Agustus 2012). Terjadi distorsi dan rebutan justifikasi. Biasanya, buaya
pasti menang melawan cicak. Namun, apa yang terjadi, jika sang cicak sudah
lebih sakti?
Dari aspek
ekonomi, Indonesia
sebenarnya adalah sebuah tanda besar yang mandiri. Pernah menjadi zamrud
khatulistiwa karena hijau subur dan kaya raya sehingga banyak diperebutkan oleh
penjajah dunia. Namun, setelah merdeka, mengapa rakyat masih merasa terjajah?
Berbagai kebutuhan hajat hidup mereka (termasuk
kedele) hilang di pasaran, kekayaan (termasuk
tambang emas) pindah tangan, dan bahkan kita tidak malu-malu lagi mendatangkan
sandang dan pangan! Pelaku impor kok dianggap pahlawan.
Dari aspek
sosbud, sosial budaya, tanda-tanda kecil kita bahkan banyak diaku milik orang!
Apakah tanda besar Indonesia tidak rapat terkunci sehingga si pencuri semakin
berani? Anak-anak bangsa mungkin lupa menjaga pundi, karena mereka sedang
terpesona tanda-tanda asing yang bisa membuat mereka menjadi selebriti!
Topeng-topeng jalanan menari-nari, mencari sesuap nasi, karena mereka tidak
lagi dihidupi. Pewayangan yang seharusnya menjadi arena belajar, tertinggal di
sudut, terbiar dan terlantar.
Aspek hankam
paling berat terancam. Indonesia
yang dulu terdiri dari 13,677 pulau, satu demi satu angka tersebut berkurang. Kita
mungkin kurang mampu menjaganya. Saya
tidak tahu jumlah pulau di Nusantara saat ini. Yang saya merasa iba, harta
kekayaan di pulau-pulau itu, termasuk rimba, sudah pindah ke negara tetangga.
Bagaimana kita mau menjaga Indonesia,
jika burung-burung dirgantara kita banyak yang luka?
Indonesia
adalah sebuah sistem tanda yang dibangun oleh
berbagai aspek tanda. Jika satu aspek saja retak, tanda besar juga akan
retak. Apakah akan kita biarkan Indonesia seperti ini? Akan kita biarkan keretakan
itu terus terjadi? Jika ya, ini yang akan kita alami: berbagai ideologi asing
akan datang membanjiri, dan Indonesia tenggelam di laut sendiri.
Semoga itu
hanya mimpi meski tidak ada satu bangsa pun yang luput dari entropi. Semoga Presiden,
para menteri, dan para politisi membaca ini.
Selamat
Ulang Tahun Ke-67, Ibu Pertiwi.
Semoga
Engkau Tetap Milik Kami.
Doktor Jumanto
PhD in Linguistics (Pragmatics), Universitas Indonesia
Warga Perum Graha Padma Internusa, Jl. Tmn.
Anyelir L-9 No. 1 Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar