Pertanyaan :
Saya adalah seorang ibu yang sedang mengalami kebingungan dalam menghadapi tuntutan anak sulung saya. Saya berharap Bapak dapat membantu memberi saran, pertimbangan atau masukan bagi saya untuk mengatasi masalah ini, karena suami juga sama bingungnya dengan saya, sehingga kami tidak bisa mengambil keputusan.
Masalah yang kami hadapi adalah anak sulung kami yang sedang duduk di kelas 3 SD minta untuk dibelikan HP (handphone). Ia bahkan sudah menentukan kualifikasi HP yang diinginkan, yaitu minimal yang berkamera dan ber3G. Bila tidak dibelikan anak saya mengancam tidak mau sekolah, karena malu dengan teman-temannya yang memiliki HP. Yang menjadikan kami bingung bukan hanya sekedar harganya yang mahal, tetapi juga dampaknya bagi anak, bila keinginannya dipenuhi.
(Ibu yang bingung, di Sampangan, Semarang)
Jawaban :
Saya bisa mengerti kebingungan yang Ibu dan Bapak alami dalam menghadapi tuntutan anak yang disertai ancaman seperti itu. Rasanya memang seperti buah simalakama; tidak dibelikan, anak tidak mau sekolah; dibelikan, harganya cukup mahal, sehingga mungkin memberatkan keuangan. Berdasar cerita Ibu, tampaknya keinginan anak Ibu untuk mempunyai HP lebih dipengaruhi oleh teman-temannya yang sudah memiliki HP. Akibatnya, ia ingin sama dengan teman-temannya, supaya ia juga diterima oleh kelompoknya. Di dunia psikologi hal ini disebut dengan konformitas. Bisa juga hal ini dipengaruhi oleh orang tua. Anak-anak kadang suka meniru perilaku orang tua, sehingga ia juga menginginkan HP agar sama dengan orang tuanya yang mempunyai HP. Kondisi ini dikenal sebagai identifikasi. Hal semacam ini memang bisa terjadi pada anak dan remaja.
Untuk memecahkan masalah ini ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan :
1. Kebutuhan anak.
Kebutuhannya berkomunikasi dan hal yang dikomunikasikan anak seusia anak Ibu masih belum membutuhkan peralatan secanggih yang diminta. Anak-anak seusia tersebut masih perlu belajar berinteraksi secara konkrit dengan teman-teman sebayanya. Ia masih membutuhkan komunikasi face to face untuk mengembangkan berbagai ketrampilan interaksi sosial lainnya. Dari sudut pandang ini, saya kira masih belum membutuhkan peralatan komunikasi yang canggih seperti yang diminta. Materi yang dikomunikasikan dengan orang tua atau teman masih lebih banyak seputar kegiatannya sehari-hari dan belum ada yang 'mendesak' untuk segera dikomunikasikan antar teman atau dengan keluarga. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan anak seusia itu sudah membutuhkan HP. Misalnya, karena kesibukan kedua orang tua yang bekerja, sehingga anak perlu berkomunikasi dengan orang tua dalam situasi mendesak tertentu atau agar orang tua dapat memantau kegiatan anak.
2. Perkembangan kepribadian anak.
Untuk perkembangan harga diri dan konsep diri, anak perlu belajar untuk mengenali kemampuan dan keterbatasan dirinya, supaya ia bisa mengembangkan harga diri dan konsep diri pada kemampuan yang dimiliki. Bila anak mengembangkan harga diri berdasarkan pada harta benda yang dimiliki, maka harga dirinya akan rapuh, karena materi yang bisa dijadikan tumpuan harga diri bisa hilang atau akan selalu berubah menurut perkembangan jaman. Padahal harga diri bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang; dalam arti kalau seseorang mempunyai harga diri yang positif tentang kemampuannya, kesehatan mentalnya akan lebih baik, dan sebaliknya.
3. Toleransi frustrasi.
Dalam perkembangannya, seorang anak juga perlu belajar mentoleransi frustrasi yang dialami. Pada dasarnya, seorang anak masih kurang bisa mentoleransi frustrasi yang dialami dan maunya semua keinginannya dipenuhi dengan segera. Bila orang tua selau memanjakan dengan memenuhi semua keinginan anak, maka anak tidak akan pernah belajar mentoleransi frustrasi. Akibatnya, anak kurang bisa mengendalikan keinginannya dan mudah kecewa bila keinginannya tidak terpenuhi.
4. Interaksi orang tua anak.
Agar keinginannya terpenuhi seorang anak akan berusaha dengan berbagai cara, diantaranya dengan berusaha 'menekan' orang tua dengan ancaman. Bila dengan cara ini anak berhasil memperoleh apa yang diinginkan, maka pada kesempatan yang lain ia akan mengulang cara tersebut untuk memperoleh keinginannya yang lain. Akibatnya, orang tua yang seharusnya mempunyai otoritas terhadap anak akan kehilangan otoritas tersebut. Sebaliknya, anaklah yang mempunyai otoritas terhadap orang tua untuk memenuhi tuntutannya.
5. Untuk mendapatkan sesuatu anak perlu berusaha terlebih dulu dan mau menanggung 'resiko'.
Hal ini untuk mengajarkan pada anak bahwa di dunia tidak ada yang gratis. Oleh karena itu, untuk memperoleh sesuatu perlu perjuangan terlebih dulu. Demikian pula, sesudah memperoleh apa yang diinginkan anak juga harus tahu konsekuensi apa yang harus dipenuhi. Misalnya untuk memperoleh HP yang diinginkan, anak perlu menunjukkan prestasi belajar yang baik terlebih dulu dan sesudah ia memperoleh HP ia harus rela uang sakunya digunakan untuk membeli pulsa agar HPnya berfungsi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas saya harap Ibu bisa memperoleh pencerahan, sehingga bisa memutuskan memenuhi atau tidak permintaan anak Ibu. Hal penting lain yang perlu untuk Ibu ingat adalah cara menyampaikan keputusan tersebut (apapun keputusannya). Sebaiknya, anak diberi gambaran yang jelas tentang kondisi finansial orang tua, manfaat dari HP yang diinginkan anak, 'persyaratan' yang harus dipenuhi oleh anak, konsekuensi sesudah memiliki HP, dan pertimbangan-pertimbangan lain dari orang tua dalam mengambil keputusan.
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan Ibu tentang ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram, yaitu bahwa keinginan bisa mulur atau mungret. Artinya, bila keinginan terpenuhi, maka ia akan mulur; sebaliknya, kalau tidak terpenuhi, maka ia akan mungret. Oleh karena itu, perlu kebijaksanaan tersendiri untuk memutuskan dipenuhi atau tidaknya keinginan kita agar tidak terlalu mulur atau agar tidak terlalu mungret.
Penulis : Drs. George Hardjanta, MSi
Staf Pengajar Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar