Selamat Datang di Blog Tabloid Komunitas "Padma News", perumahan Graha Padma - Semarang

Blog ini merupakan versi online dari tabloid "Padma News". Semua artikel, gambar dan foto diambil dari versi cetak. Harapan kami, setelah membaca blog ini semoga dapat menginspirasi anda untuk datang berkunjung ke lokasi perumahan kami, "Graha Padma". Sebuah mutiara di Semarang Barat, Jawa Tengah.
Hanya 5 menit dari Bandara Ahmad Yani, 20 menit ke pusat kota, 15 menit ke pintu tol Jerakah.

Konon, tinggal di Semarang bawah selalu diberi stigma 'daerah banjir' dan gersang. Mari datang dan buktikan dengan apa yang telah kami lakukan untuk mengantisipasinya :))

Kawasan permukiman ini dirancang secara profesional dengan menjaga keselarasan rumah tinggal, ruang publik (jalan, taman dll) dan lingkungan alam sekitar.

Sugeng Rawuh di Semarang, jantung Jawa Tengah.

Kamis, 14 Juli 2011

BAHASA INGGRIS DALAM KONTEKS 'BALI NDESO MBANGUN DESO'



Slogan 'Bali Ndeso Mbangun Deso' yang dicanangkan oleh Gubernur Jawa Tengah H. Bibit Waluyo, dapat kita sikapi sebagai ideologi yang jika berhasil, dapat menjadi apa yang disebut oleh Roland Barthes (1957) sebagai 'mitos', yang mempengaruhi perilaku dan perikehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Tengah. Namun sebelum ke sana, jika kita cermati, ada dua aspek ideologi yang melekat dalam slogan tersebut. Dari aspek negatif, ideologi yang melekat adalah 'keterbelakangan', 'ketidakmauan untuk maju', 'melarang orang mencari nafkah di tempat lain yang lebih maju (boro)', 'mendukung slogan “mangan ora mangan yen kumpul” (makan tidak makan, asal tetap bersama di daerah)', 'mengutamakan individu kedaerahan, tidak nasionalis', dsb, dsb. Sementara itu, ideologi positifnya, di antaranya, adalah 'Memikirkan pembangunan desa, setelah menimba ilmu dan atau keterampilan di tempat lain yang lebih maju', 'Bersama-sama mengembangkan dan membangun desa tempat kelahiran kita', 'Memberdayakan desa-desa yang selama ini tertinggal', 'Mengangkat sikap, karya, dan produk desa ke tingkat global' dsb, dsb. Dalam konteks ideologi positif tersebut di atas, wacana ini penulis komunikasikan, utamanya adalah posisi bahasa Inggris dalam konteks 'Bali Ndeso Mbangun Deso'. Bagaimana kita seharusnya menyikapi penggunaan bahasa Inggris?

Deso' atau 'desa' adalah unit pemerintahan formal terkecil di Indonesia. Unit ini jika kita akui di dalam dunia moderen ini, sudah kehilangan batas teritori non-fisiknya, apalagi di dunia cybertext sekarang ini. Radio, televisi, dan bahkan internet, sudah ada baik di desa perkotaan maupun desa pelosok jauh dari keramaian. Apa yang membedakan perkembangannya? Ternyata satu hal: teks berbahasa Inggris. Pemahaman terhadapnya, atau pun kemampuan memproduksi teks tersebut adalah faktor kunci. Bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi internasional, yang mau tidak mau (willy nilly) harus dihadapi, baik oleh individu desa perkotaan maupun individu desa terpencil.

Ada dua aspek bahasa Inggris yang selama ini dilupakan orang. Sebagai bahasa impor, bahasa Inggris telah menjadi 'momok' karena kesalahan kurikulum kita yang menuntut guru mengajarkan aspek potensial, bukan aspek aktual. Kurikulum menjadikan guru bahasa Inggris sebagai 'dewa', dan kesalahan siswa dalam belajar sebagai 'dosa' yang terus menghantui. Selama beberapa puluh tahun ke belakang, pengajaran telah diarahkan ke aspek formal, bukan fungsional. Padahal apabila bahasa Inggris diajarkan dari aspek fungsional, 'momok' tidak akan terjadi, dan kita akan lebih berani. Bagaimana bahasa Inggris harus disikapi dalam slogan di atas oleh kita orang 'ndeso'?

Pertama, masyarakat Jawa Tengah perlu menyikapi bahwa aspek fungsional dari bahasa Inggris jauh lebih penting daripada aspek formalnya. Sisi fungsional adalah sisi budaya atau pragmatiknya. Sisi formal adalah sisi gramatikal. Kesalahan budaya adalah fatal, sementara kesalahan gramatikal, tidak masalah. Penutur jati (native speakers) pun akan tinggi toleransinya kepada kita apabila gramatika kita salah. Tetapi mereka akan tersinggung atau merasa aneh jika aspek budaya mereka tidak dihiraukan. Pemahaman atas salam di malam hari 'Good evening!' (bertemu) dan 'Good night!' (berpisah) jauh lebih penting daripada, misalnya, menghafal pola kala (tenses). Kata-kata yang mengandung aspek budaya dan berkolokasi dengan 'rasa' misalnya 'taste', 'feel', 'think', 'touch', 'smell', 'like', 'enjoy', dsb, perlu kita ketahui penggunaannya. Sehingga tidak terjadi penggunaan yang 'aneh', misalnya “Lets feeling it!” (tulisan dalam boks fried chicken di sebuah restoran di Jakarta). Tulisan tersebut mengajak kita untuk menikmati ayam goreng, yang seharusnya 'Let's taste it' atau 'Let's enjoy it!'. Kita lihat kesalahan aspek fungsional pada kata 'feel' jauh lebih berisiko pragmatis daripada kesalahan aspek formalnya (kurangnya tanda ' dan sufik ing yang tidak perlu). Berbagai kesalahan juga terjadi di belahan dunia lain, di negara yang bukan berbahasa Inggris. Misalnya: 'You are invited to take advantage of the chambermaid' ('Anda diminta memanfaatkan pelayan kamar'?; tulisan di sebuah hotel di Jepang), seharusnya, misalnya: 'Please ask the chambermaid for help!' Dari contoh tersebut, yang seharusnya kita takuti adalah aspek budaya, bukan aspek gramatika yang selama ini menakutkan kita.

Aspek budaya lain yang ada dalam bahasa Inggris adalah budaya aktif. Dalam berbahasa, masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa Tengah, kita menggunakan budaya pasif. Contohnya: 'Silahkan diminum!', 'Bingkisan itu telah diterima', atau 'Tangannya patah'. Dalam budaya Inggris, penutur jati cenderung mengucapkan: 'Please drink!', 'They have received the package', atau 'He broke his arm'. Dengan pengetahuan ini, kita harus berpikir dalam budaya Inggris jika kita menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, atau sebaliknya, kita harus berpikir dalam budaya Indonesia jika kita menerjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dengan budaya aktif inilah, sebaiknya kita lebih menekankan keterampilan aktif memproduksi bahasa Inggris, yaitu: berbicara dan menulis (encoding), tetapi tidak melupakan keterampilan pasif memahami bahasa Inggris, yaitu: menyimak dan membaca (decoding) (baca: Jumanto, Suara Merdeka, 2008).

Yang kedua, masyarakat Jawa Tengah perlu belajar bahasa Inggris dari konteks kehidupan di sekitar mereka dan yang perlu mereka dalami untuk kegiatan sehari-harinya, bukan belajar gramatika dari buku atau pun menghafal kata dari kamus. Dalam hal ini, ungkapan yang lebih santun lebih baik daripada yang informal. Penggunaan pertanyaan atau permintaan dengan 'could', 'would', ataupun 'would like' lebih baik daripada 'can', 'will', ataupun 'want'. Misalnya: 'Could I help you?', 'Would you buy something?', ataupun 'I would like you to see this', dsb, yang lebih baik daripada, misalnya, 'Can I help you?', 'Will you buy something?', ataupun 'I want you to see this', demikian juga dalam bahasa surat-menyurat. Dalam hal ini, komunikasi di arahkan ke kesantunan berbahasa dengan penutur jati, meskipun kadang gramatika kita salah, tidak perlu kita resah.

Bahasa Inggris dalam konteks 'Bali Ndeso Mbangun Deso' adalah cara pandang kita untuk menggunakan bahasa Inggris secara tepat. Dengan slogan ini, konteks 'GloCal' (= Think Global, Act Local) sangat tepat diterapkan. Orang Jawa Tengah memiliki keunikan lokal dalam bersikap, berkarya, dan berproduksi. Sikap, karya, dan produk tersebut boleh bersifat lokal, tetapi kualitas dan pasar dari sikap, karya, dan produk tersebut haruslah global. Memang dari wacana di atas, slogan 'Bali Ndeso Mbangun Deso' lebih tepat diterapkan di semua propinsi di Indonesia untuk menghadapi dunia. Mungkin nanti jika Gubernur Jawa Tengah berhasil membuat ideologi positif dalam slogan tersebut menjadi mitos sehari-hari, propinsi-propinsi lainnya pasti mengikuti. Semoga.

* Penulis adalah warga Taman Anyelir L-9 No.1, Perum Graha Padma, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar